top of page

My Personal Story of Berdamai dengan Diri Sendiri


Hidup gak semudah yang dibayangkan, jadi jangan terlambat menyadarinya!

Kata-kata di atas baru bisa saya sadari beberapa tahun terakhir ini atau mungkin tepatnya dua tahun kebelakang. Kalau orang bilang selalu ada kejutan dalam kehidupan, itu yang saya rasakan dari dulu. Saya selalu siap dengan kejutan baiknya, tapi hampir tidak pernah siap dengan kejutan yang sedikit kurang menyenangkan. Lupa bersyukur jadi salah satu kunci penyebabnya. Maklum, saya orangnya cukup ambisius, cukup perfeksionis, dan tidak mau terlihat buruk di mata orang lain. Terlebih tingkat kepercayaan diri saya minim (ini berhubungan erat sama 3 sifat sebelumnya).

Dulu sebetulnya bingung dengan kata “berdamai dengan diri sendiri”. Ini apa ya maksudnya? Berdamai sama diri sendiri? Memangnya kita bisa bertengkar sama diri kita sendiri? Jawabannya: ternyata bisa!

Salah satu kondisi yang mudah dijelaskan ya ketika saya mendapatkan hasil yang kurang menyenangkan dari sesuatu hal, seperti kegagalan. Bagi saya yang percaya dirinya tergolong kurang, kegagalan itu seperti sebuah ancaman ketakutan yang luar biasa. Saya bisa terus-terusan menyalahkan diri saya dan sulit lepas dari hal tersebut. Merasa bersalah, gak percaya diri, dan bikin produktifitas di hal lain jadi menurun karena harus cari pelarian untuk menenangkan pikiran.

Setelah beberapa kali mengalami rasa kegagalan, saya belajar untuk selalu bersyukur setiap harinya. Caranya? Yakin pada kebaikan dan seluruh usaha yang telah saya lakukan. Kalau rumus saya, jika kita yakin apa yang kita lakukan sudah baik dan dengan tujuan kebaikan, percayalah bahwa itu yang terbaik. Soal hasil yang tidak sesuai harapan pasti ada beberapa faktor pengaruhnya. Tidak ada satu faktor tunggal yang hanya berpusat pada diri kita sendiri.

Kita masuk ke kasusnya ya. Contohnya begini... Sejauh ini salah satu titik terendah di hidup saya adalah ketika merasa gagal menjadi pemimpin. Ini benar-benar menjadi masa terberat saya untuk ‘berdamai’ dengan diri sendiri. Benar-benar menjatuhkan rasa percaya diri saya dan membuat saya ‘dikepung’ rasa takut akan pandangan orang lain. Beberapa minggu bahkan bulan saya menyalahkan diri saya.

Saat menjadi pemimpin, saya merasa sudah melakukan hal terbaik untuk kemajuan tim. Tujuan saya hanya sesederhana ingin membuat organisasi yang saya pimpin maju sehingga orang-orang yang ada di dalamnya bangga terhadap kerja keras mereka dan organisasi tempat mereka bernaung. Di saat yang bersamaan, tidak boleh hanya organisasinya yang berkembang, namun juga mereka yang ada dibaliknya. Hingga akhirnya sampai pada suatu masa dimana semua hal yang kami lakukan mendapat respon positif, organisasi kami berkembang, namun ternyata tim tidak suka dengan cara saya membawa kami semua ke posisi tersebut.

Momen itu jadi salah satu tamparan terbesar dalam hidup saya. Saya merasa sangat gagal karena dapet cap buruk di mata tim saya sendiri meski pencapain kita bersama bisa dikatakan sangat baik.

Tapi kalau berlarut sama hal itu terus-terusan justru akan jadi jebakan sendiri buat saya. Akhirnya saya coba memikirkan bagaimana untuk berdama dengan pikiran saya. Sulit bagi saya saat itu untuk menghadapi kenyataan itu. Akhirnya saya coba bersyukur.

Hah? Kok gak disukain tapi malah bersyukur? Saya pilih bersyukur karena menurut saya itu satu-satunya jalan. Bersyukur bahwa mereka yang tidak suka dengan cara saya akhirnya mengungkapkannya. Karena apa? Karena dengan kejujuran mereka justru menjadi evaluasi bagi diri saya. Tapi, pasti akan ada pertanyaan lainnya kayak: “Berarti kalo kamu jadi evaluasi diri justru bakal ngerasa makin bersalah dong?”

Awalnya iya jadi ngerasa makin bersalah, tapi... coba liat sisi baiknya. Saya jadi tau bahwa gak semua orang bisa diberikan treatment yang sama. Gak semua orang bisa terima pemikiran saya dengan satu kali ‘briefing’, karena untuk ngubah pemikiran orang itu butuh waktu yang gak sebentar. Dan yang terpenting, gak semua orang bisa kita bikin happy. We are not created by God to make everyone happy. We are created to seek happiness for us (ourselves) and for our fellow human beings. Success or not, it depends on how they view it and accept it.

Dari sini saya belajar untuk gak terlalu memikirkan perkataan orang lain yang menjatuhkan. Belajar untuk selalu inget kalo ada banyak hal di dunia yang gak bisa sesuai dengan harapan saya. Belajar untuk selalu inget kalau gak semua hal bisa diubah. Belajar selalu ingat bahwa gak berhasil bukan berarti gagal, tapi mungkin ada waktu lain yang lebih tepat, atau mungkin ada hal lain yang lebih baik. Belajar selalu ingat kalau ada hal lainnya yang membutuhkan saya.

Intinya, berdamai dengan diri sendiri itu susah susah gampang, gampang gampang susah. Kok gitu? Iya, soalnya kuncinya cuma b-e-r-s-y-u-k-u-r. Cuma, tapi emangnya gampang? Dari bersyukur saya bisa lihat suatu hal dari berbagai sisi, gak cuma terperangkap dari satu sudut pandang aja. Susah, but I promise you that the struggle to achieve it is worth it.

I believe that there is always a chance for us to shine and be the shine for others. It is just a matter of time and moments that God already decided for us.

Comments


You Might Also Like:
bottom of page